![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJi2qfuZvDCjlkAORXqrmgYKIYabFtsFtzeK4AbJ9vdQVaxQd4Z8AOx0eHyJBnUSGD9mj7S9-VEwEL5W36K3V1JNlU74gjVQXsqBJClYuyA6ZOkAlpCHbnJiLklPDdmEglm9C9ySmCxVo/s320/IMG_6944.jpg)
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”. Di daerah Nanggroe Darussalam ini terdapat beberapa subetnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Diantara subetnis diatas, setiap etnis mempunyai adat istiadat yang berbeda, dan ini menjadi sebuah keistimewaan dari beberapa suku di indonesia. Diantaranya adalah:
1. Upacara
Perkawinan
Perkawinan adalah
sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal ini
berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa
tersendiri dan sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada
masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa
tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri), pertunangan dan hingga upacara
peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan
bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu
tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi
pengantin laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak
kedua belah tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara
meugaca/boh gaca pada malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari
rabana, hikayat, pho, silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Pada puncak acara
peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini dilakukan oleh
kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro. Qadli didampingi
oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai
saksi. Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya
kadli membaca do’a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang
diikuti oleh linto baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap
sempurna, kadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum
menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan
sempurna.
Setelah selesai
acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro
telah terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari
pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah
teuot linto. Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan
sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama acara
persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya
yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu
diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar
bentuknya. Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh
sanak keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran
(tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari)
dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap
orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di
telinga temanten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara
peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul
oleh orang lain secara bergantian.
Apabila acara
peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke
rumahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro
tidak dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar
linto baro harus sudah meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat,
bila seorang linto baro masih di rumah dara baro sampai siang.
2. Upacara
Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara turun
tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2 tahun.
Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama
yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu.
Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai
dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus.
Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat
orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi
tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi
dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu
tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi
itu laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang
batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas
tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa
pulang kembali ke rumah.
3. Tradisi
Makan dan Minum
Makanan pokok
masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di dalam tradisi
makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada
lauk-pauknya. Lauk-pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik
dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat
berupa ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai
kambing (Kari Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie
Aceh, dan Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada
pagi hari. Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi.
Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh
penuh sesak orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih,
ketan/pulut, ditemani secangkir kopi atau pada siang hari sambil bercengkrama
dengan teman sejawat makan nasi dengan kari kambing, dan sebagainya.[]